Beberapa waktu yang lalu, saudara ipar saya bercerita tentang temannya yang sedang “marah” kepada Allah Ta’ala.
Temannya tersebut berkata, “Saya kecewa dengan Allah. Saya ini pandai, bisa ini dan itu, namun rezeki saya sedikit, sedangkan teman-teman saya yang lebih bodoh dari saya, rezekinya lebih baik dan lebih sukses dari saya ….”
Itulah sepenggal kalimat “miris” yang sampai ke telinga saya, yang sungguh tidak dapat saya lupakan dan langsung mengingatkan saya kepada firman Allah berikut ini,
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِندِي
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya, aku diberi harta itu hanya karena ilmu yang ada padaku ….” (QS. Al-Qashash: 78)
Qarun berkata demikian di saat dia sukses dan kaya. Akan tetapi, teman dari ipar saya tersebut berkata demikian di saat dia masih miskin, dalam keadaan gagal. Dia merasa bahwa dia layak kaya karena dia pandai dan memiliki banyak keahlian. Dia lupa bahwa rezeki adalah ketentuan dari Allah ta’ala. Dia lupa bahwa rezeki bukan ditentukan oleh kepandaiannya.
Boleh jadi, jika teman dari ipar saya tersebut benar-benar sukses dengan keyakinannya yang salah, dia benar-benar akan menjadi Qarun, kecuali Allah memberikannya taufik kepadanya.
Di saat Qarun dibenamkan ke dalam bumi oleh Allah Ta’ala karena kesombongannya, barulah manusia yang tadinya terkagum-kagum dengan kesuksesan Qarun menyadari siapa Pemberi Rezeki yang sebenarnya. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَصْبَحَ الَّذِينَ تَمَنَّوْا مَكَانَهُ بِالْأَمْسِ يَقُولُونَ وَيْكَأَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَوْلَا أَن مَّنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا لَخَسَفَ بِنَا وَيْكَأَنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan jadilah orang-orang, yang kemarin mencita-citakan kedudukan Qarun itu, berkata, ‘Aduhai, benarlah. Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karunia-Nya atas kita, Dia benar-benar telah membenamkan kita (pula). Aduhai, benarlah. Tidak beruntung orang-orang yang mengingkari (nikmat Allah).’” (QS. Al-Qashash:82)
Percaya diri itu perlu, seperti halnya anak sekolah yang harus belajar sungguh-sungguh sebelum ujian. Dengan persiapan yang cukup, dia menjadi tenang saat menjawab soal-soal ujian, berbeda dibandingkan para siswa lain yang tidak belajar.
Akan tetapi, percaya diri bukan berarti menyandarkan kesuksesan pada diri kita sendiri. Tanpa pertolongan Allah Ta’ala, semua kelebihan dan usaha yang kita miliki tidak akan bermanfaat sama sekali. Seorang mukmin haruslah menjadikan Allah Ta’ala sebagai tempat bersandar dan bertawakal setelah dia berusaha dengan sungguh-sungguh.
Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata, “Tawakal yang hakiki adalah penyandaran hati yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah.”
Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa agar Allah tidak menyerahkan urusan dirinya kepada dirinya sendiri, “… Perbaikilah segala urusanku, dan jangan diserahkan kepadaku walau sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Al-Hakim, hadits sahih)
Dengan benar-benar berserah diri kepada Allah Ta’ala, barulah pertolongan Allah akan datang. Akan tetapi, selama kita masih merasa bahwa kepandaian dan usaha kitalah yang menjadi penyebab kesuksesan maka bersiap-siaplah untuk menjalani kehidupan yang susah.
Semoga Allah Ta’ala menjaga kita dari sifat-sifat Qarun yang sombong dan merasa bahwa semua kesuksesan yang kita miliki dikarenakan kepandaian dan usaha kita. Amin.
Wassalamu ‘alaikum.
***
Penulis: Fadil Fuad Basymeleh
Artikel www.PengusahaMuslim.com